Pages

Kamis, 09 Oktober 2014

Dua Sastrawan Indonesia

Banyak sekali Sastrawan-sastrawan di Indonesia yang telah menyumbangkan jerih pikiran mereka di dunia sastra Indonesia. Berikut sedikit biografi maupun judul-judul karya yang saya rangkum dari berbagai sumber.



Taufik Ismail
Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta LPKJ tahun 1968. Di ketiga lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ tahun 1968–1978. 

Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia tahun 1978-1990. Pada tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia. Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali.

Hasil karya TAUFIQ ISMAIL
1. Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966)
2. Benteng, Litera ( 1966)
3. Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta -buklet baca puisi tahun 1972
4. Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974)
5. Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima (1976)
6. Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990)
7. Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993)
8. Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Mizan (1995)

AA Navis
Ali Akbar Navis atau AA Navis adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia. Karyanya yang paling fenomenal adalah cerita pendek 'Robohnya Surau Kami' yang ia tulis pada 1955. Navis dijuluki sebagai Sang Pencemooh karena tulisannya yang mengandung kritik ceplas-ceplos dan apa adanya. 

Kegiatan tulis menulis telah Navis jalani sejak 1950. Namun hasil karyanya baru mendapat perhatian lima tahun setelah itu. Kumpulan cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami merupakan salah satu karya fenomenalnya yang pertama kali diterbitkan di media cetak tahun 1955. Robohnya Surau Kami juga terpilih menjadi salah satu cerpen terbaik majalah sastra Kisah. Cerpen tersebut menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin. Dalam hal ini Navis menegaskan bahwa yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai, seperti yang terjadi sekarang di negeri ini. 

Sepanjang hidupnya, kakek dari 13 orang cucu ini telah melahirkan ratusan karya, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi.  

Pandangan pria berdarah Minang ini mengenai karya sastra yang baik itu adalah keawetan sebuah karya yang dihasilkan. Ia tidak ingin karyanya hanya seperti kereta api, yang mungkin saja bagus akan tetapi hanya sekali lewat dan ada dimana-mana. Ia sendiri mengaku menulis dengan satu visi, yaitu dengan niat bukan untuk mencari ketenaran. Dalam konteks kesusastraan, Navis juga mengemukakan sebuah pandangan bahwa kurikulum pendidikan nasional di Indonesia, mulai dari SD sampai perguruan tinggi, hanya diajarkan untuk menerima, tidak diajarkan untuk mengemukakan pemikiran. Oleh karena itu, terjadi pembodohan terhadap generasi akibat tingkah polah kekuasaan. Menurutnya, dengan memfungsikan pelajaran sastra dalam kurikulum pendidikan nasional, dapat membangkitkan sikap kritis seseorang dan memahami konsep-konsep tentang kehidupan. 

(Diolah dari berbagai sumber)
 
 
Blogger Templates